Muhammad Kecil***
Ia bercerita:
Saya pada saat itu masih kecil
tak mengerti apa yang sedang terjadi,
akan tetapi saya mendapati ayah –Semoga Allah merahmatinya- dalam keadaan
gelisah dan kulitnya menguning setiapkali
saya pulang dari sekolah kemudian
saya bacakan kepadanya apa yang telah saya hafal dari Kitab Muqaddas
(Injil.red) dan menyampaikan apa yang saya pelajari dari bahasa spanyol, namun
beliau berpaling dan pergi ke ruangan beliau yang berada di bagian dalam rumah
yang mana beliau tak mengizinkan seorangpun mendekati
pintunya, lalu berdiam diri di dalamnya berjam-jam. Saya tak tahu apa yang
beliau kerjakan di kamar tersebut.
Kemudian keluar dalam keadaan
mata memerah seolah-olah beliau menangis sejadi-jadinya, setiap hari
beliau menatap saya dengan tatapan
kesedihan. Beliau akan menggerakkan
bibirnya ketika ada hal yang ingin dibicarakan. Jikalau saya berdiri
mendengarkan perkataan beliau maka beliau membelakangi saya dan pergi
tanpa berkata apapun
Saya mendapati sang ibunda
mengiring saya –setiap kali pergi ke
Sekolah- dalam keadaan sedih bercucuran air mata, mencium saya dengan penuh kerinduan kemudian
ia tak puas lalu memangil dan mencium saya untuk kedua kalinya. Beliau tak berpisah dengan saya kecuali dalam
keadaan menangis. Saya merasakan –hari-hari seluruhnya- hangatnya air mata
beliau di atas pipi saya. saya heran dengan tangisan beliau dan saya tak tahu
sebabnya. Jika saya kembali dari sekolah beliau menyambut saya dengan penuh
kerinduan seolah-olah saya telah menghilang selama 10 tahun. Saya memperhatikan
ayah dan ibu menjauhi saya , mereka berbicara berbisik-bisik dengan bahasa
selain bahasa spanyol, saya tak tahu dan
tak faham. Jika saya mendekati mereka, mereka memotong pembicaraan dan
mengalihkan pembicaraan lalu berbicara
dengan bahasa Spanyol . saya heran dan merasa sakit,kemudian saya pergi dengan
penuh prasangka dalam diri, sehingga
saya mengira bahwa saya ini bukan anak mereka , saya hanyalah
anak temuan yang didatangkan dari jalan. Bertambah sakit, kemudian saya
menuju pojok rumah menyendiri menangis sejadi-jadinya.
Rasa sakit ini terus terjadi tiap hari sehingga
menyebabkan perasaan bimbang yang berbeda dengan perasaan anak-anak yang
seumuran dengan saya. Saya tidak pernah ikut bermain dengan mereka bahkan memisahkan diri dari mereka dan duduk
menyendiri. Saya letakkan kepala ini di atas kedua telapak tangan kemudian
tenggelam dalam renungan. Saya mencoba mencari solusi untuk masalah-masalah ini
, sampai rohaniawan menarik lengan baju saya supaya pergi sembahyang ke Gereja.
Suatu ketika Ibunda melahirkan,
ketika saya memberikan kabar bahagia ayahanda bahwa ibu melahirkan anak yang
ganteng, beliau tidak bahagia dan tak tersirat pada bibirnya senyuman, beliau malah pergi dalam keadaaan sedih.
Kemudian pergi memanggil rohaniawan
untuk membaptis sang bayi , berjalan di belakang rohaniawan sembari menundukkan
kepala, terlihat di wajah beliau tanda kesedihan yang sangat dan keputusasaan
yang mematikan, sampai beliau masuk rumah
bersama rohaniawan dan membawanya kepada Ibunda. saya melihat wajah ibunda pucat dan kedua
matanya melotot .Saya melihatnya menyerahkan sang bayi dalam keadaan
takut…………… kemudian memejamkan kedua matanya. Saya bingung memberikan alasan
akan pemandangan ini. Bertambahlah
kepedihan di atas kepedihan.
Manakala Malam perayaan Paskah
dan Granada harum bercahaya, Istana Hamra bersinar dengan lampu-lampu,
salib-salib di atas balkon-bon dan
menara-menara. Ayahanda memanggil saya di Tengah malam sedangkan penduduk rumah
tertidur , beliau membawa saya dalam keadaan terdiam menuju ruangannya , tempat yang disucikan ,
lalu hati ini bergetar kencang namun saya tetap bertahan dan menguatkan diri.
Tatkala beliau membawa saya ke tengah
ruangan , beliu menutup pintu serapat-rapatnya dan mulai mencari penerang. Saya
berdiri sebentar dalam kegelapan itu lebih lama bagi saya daripada
bertahun-tahun. Kemudian beliu menyalakan lampu kecil yang ada di sana. saya menoleh sekitar , saya memperhatikan ruangan tersebut kosong,
tidak terdapat sesuatu yang aneh-aneh
yang pernah saya sangka . hanya terdapat tikar dan buku yang diletakkan
di atas rak dan pedang yang digantung di dinding. Kemudian beliau menempatkan
saya di atas tikar tersebut dan beliau tetap terdiam sembari menatap saya
dengan tatapan yang aneh. Tatapan yang aneh, tempat yang berwibawa, dan
tenangnya malam berkumpul dalam diri saya. Saya merasa seolah-olah berpisah dari dunia yang saya tinggalkan di
belakang pintu itu dan berpindah ke dunia yang
lain. saya tak mampu menggambarkan apa yang saya rasakan.
Kemudian ayah memegang tangan
saya dengan penuh kasih sayang dan berkata dengan suara kecil: Wahai Anakku, sekarang
kamu sudah berumur 10 tahun, kamu sudah dewasa. Saya akan memberitahumu rahasia
yang sudah lama saya sembunyikan darimu, apakah kamu bisa menjaganya dalam
hatimu, dan menyembunyikannya dari ibumu, keluarga, sahabat serta semua orang?
Satu isyarat /petunjuk darimu akan rahasia ini bisa menghantarkan tubuh ayahmu
ini kepada siksaan Algojo ‘’Diwan Taftisy’’ (Sejenis tim Investigasi)
Tatkala saya mendengar nama
‘’Diwan Taftisy” , saya bergetar mulai dari penghujung kepala sampai penghujung
kaki , memang saya –pada saat itu- masih kecil akan tetapi saya tahu apa itu
‘’Diwan Taftisy’’ dan setiap hari saya
melihat korban-korbannya (Pulang Pergi Sekolah) diantara para korban; laki-laki
yang disalib dan dibakar…..Wanita-wanita yang digantung dari rambutnya sehingga
atau perutnya ditusuk…………..saya terdiam dan tak menjawab!.
Bersambung………………….
***Kisah ini dikutip
dari karya Sastrawan Timur Tengah Syaikh Ali Al Thanthawi ‘’Qishash Min
At-Taarikh Cet Daar Al Manaarah
kontributor : Ibnu Sahlin,
@Santrikecil
Tidak ada komentar :
Posting Komentar