Senin, 12 Oktober 2015

MUHAMMAD KECIL (1)



Muhammad  Kecil***
Ia bercerita:
Saya pada saat itu masih kecil tak  mengerti apa yang sedang terjadi, akan tetapi saya mendapati ayah –Semoga Allah merahmatinya- dalam keadaan gelisah dan kulitnya menguning setiapkali  saya pulang dari sekolah  kemudian saya bacakan kepadanya apa yang telah saya hafal dari Kitab Muqaddas (Injil.red) dan menyampaikan apa yang saya pelajari dari bahasa spanyol, namun beliau berpaling dan pergi ke ruangan beliau yang berada di bagian dalam rumah yang mana  beliau  tak mengizinkan seorangpun mendekati pintunya, lalu  berdiam diri di  dalamnya berjam-jam. Saya tak tahu apa yang beliau kerjakan di kamar tersebut.  Kemudian   keluar dalam keadaan mata memerah seolah-olah beliau menangis sejadi-jadinya, setiap hari beliau  menatap saya dengan tatapan kesedihan. Beliau akan  menggerakkan bibirnya ketika ada hal yang ingin dibicarakan. Jikalau  saya berdiri  mendengarkan perkataan beliau maka beliau membelakangi saya dan pergi tanpa berkata apapun

Saya mendapati sang ibunda mengiring saya –setiap kali  pergi ke Sekolah- dalam keadaan sedih bercucuran air mata,  mencium saya dengan penuh kerinduan kemudian ia tak puas lalu memangil dan mencium saya untuk kedua kalinya.  Beliau tak berpisah dengan saya kecuali dalam keadaan menangis. Saya merasakan –hari-hari seluruhnya- hangatnya air mata beliau di atas pipi saya. saya heran dengan tangisan beliau dan saya tak tahu sebabnya. Jika saya kembali dari sekolah beliau menyambut saya dengan penuh kerinduan seolah-olah saya telah menghilang selama 10 tahun. Saya memperhatikan ayah dan ibu menjauhi saya , mereka berbicara berbisik-bisik dengan bahasa selain bahasa spanyol,  saya tak tahu dan tak faham. Jika saya mendekati mereka, mereka memotong pembicaraan dan mengalihkan  pembicaraan lalu berbicara dengan bahasa Spanyol . saya heran dan merasa sakit,kemudian saya pergi dengan penuh prasangka dalam diri,  sehingga saya mengira bahwa saya ini bukan anak mereka , saya  hanyalah  anak temuan yang didatangkan dari jalan. Bertambah sakit, kemudian saya menuju pojok rumah menyendiri menangis sejadi-jadinya.

Rasa sakit  ini terus terjadi tiap hari sehingga menyebabkan perasaan bimbang yang berbeda dengan perasaan anak-anak yang seumuran dengan saya. Saya tidak pernah ikut bermain dengan mereka bahkan  memisahkan diri dari mereka dan duduk menyendiri. Saya letakkan kepala ini di atas kedua telapak tangan kemudian tenggelam dalam renungan. Saya mencoba mencari solusi untuk masalah-masalah ini , sampai rohaniawan menarik lengan baju saya supaya pergi sembahyang ke Gereja.

Suatu ketika Ibunda melahirkan, ketika saya memberikan kabar bahagia ayahanda bahwa ibu melahirkan anak yang ganteng, beliau tidak bahagia dan tak tersirat pada bibirnya senyuman,  beliau malah pergi dalam keadaaan sedih. Kemudian  pergi memanggil rohaniawan untuk membaptis sang bayi , berjalan di belakang rohaniawan sembari menundukkan kepala, terlihat di wajah beliau tanda kesedihan yang sangat dan keputusasaan yang mematikan,  sampai beliau masuk rumah bersama rohaniawan dan membawanya kepada Ibunda.  saya melihat wajah ibunda pucat dan kedua matanya melotot .Saya melihatnya menyerahkan sang bayi dalam keadaan takut…………… kemudian memejamkan kedua matanya. Saya bingung memberikan alasan akan pemandangan ini. Bertambahlah kepedihan di atas kepedihan.

Manakala Malam perayaan Paskah dan Granada harum bercahaya, Istana Hamra bersinar dengan lampu-lampu, salib-salib di atas balkon-bon  dan menara-menara. Ayahanda memanggil saya di Tengah malam sedangkan penduduk rumah tertidur , beliau membawa saya dalam keadaan terdiam  menuju ruangannya , tempat yang disucikan , lalu hati ini bergetar kencang namun saya tetap bertahan dan menguatkan diri. Tatkala beliau  membawa saya ke tengah ruangan , beliu menutup pintu serapat-rapatnya dan mulai mencari penerang. Saya berdiri sebentar dalam kegelapan itu lebih lama bagi saya daripada bertahun-tahun. Kemudian beliu menyalakan lampu kecil yang ada di sana.  saya menoleh sekitar ,  saya memperhatikan ruangan tersebut kosong, tidak terdapat sesuatu yang aneh-aneh  yang pernah saya sangka . hanya terdapat tikar dan buku yang diletakkan di atas rak dan pedang yang digantung di dinding. Kemudian beliau menempatkan saya di atas tikar tersebut dan beliau tetap terdiam sembari menatap saya dengan tatapan yang aneh. Tatapan yang aneh, tempat yang berwibawa, dan tenangnya malam berkumpul dalam diri saya. Saya merasa seolah-olah  berpisah dari dunia yang saya tinggalkan di belakang pintu itu dan berpindah ke dunia yang  lain. saya tak mampu menggambarkan apa yang saya rasakan.

Kemudian ayah memegang tangan saya dengan penuh kasih sayang dan berkata  dengan suara kecil: Wahai Anakku, sekarang kamu sudah berumur 10 tahun, kamu sudah dewasa. Saya akan memberitahumu rahasia yang sudah lama saya sembunyikan darimu, apakah kamu bisa menjaganya dalam hatimu, dan menyembunyikannya dari ibumu, keluarga, sahabat serta semua orang? Satu isyarat /petunjuk darimu akan rahasia ini bisa menghantarkan tubuh ayahmu ini kepada siksaan Algojo ‘’Diwan Taftisy’’ (Sejenis tim Investigasi)

Tatkala saya mendengar nama ‘’Diwan Taftisy” , saya bergetar mulai dari penghujung kepala sampai penghujung kaki , memang saya –pada saat itu- masih kecil akan tetapi saya tahu apa itu ‘’Diwan Taftisy’’  dan setiap hari saya melihat korban-korbannya (Pulang Pergi Sekolah) diantara para korban; laki-laki yang disalib dan dibakar…..Wanita-wanita yang digantung dari rambutnya sehingga atau perutnya ditusuk…………..saya terdiam dan tak menjawab!.

Bersambung………………….


***Kisah ini dikutip dari karya Sastrawan Timur Tengah Syaikh Ali Al Thanthawi ‘’Qishash Min At-Taarikh Cet Daar Al Manaarah 

kontributor : Ibnu Sahlin, 
@Santrikecil


Tidak ada komentar :

Posting Komentar